JAKARTA, papuaku.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Permohonan yang diajukan 15 organisasi serikat pekerja ini terdaftar dengan Nomor Perkara 54/PUU-XXI/2023. Salah satu petitumnya, pemohon meminta MK membatalkan UU Nomor 6 Tahun 2023.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membaca amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Senin (2/10/2023).
Anwar menyatakan pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Keputusan ini diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.
Adapun permohonan diajukan oleh Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional; Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan KSPSI; Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan KSPSI; Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik dan Mesin – SPSI; Federasi Serikat Pariwisata dan Ekonomi Kreatif KSPSI; Federasi Serikat Pekerja Listrik Tanah Air (Pelita) Mandiri Kalimantan Barat.
Lalu, Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan; Federasi Serikat Pekerja Rakyat Indonesia; Gabungan Serikat Buruh Indonesia; Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia; Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia; Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia; Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92; Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman; dan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada 31 Mei 2023 lalu, kuasa hukum pemohon, Alif Fachrul Rachmad mengatakan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada UU P3.
Pemohon juga menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Ciptaker, yang semula Perppu Cipta Kerja, disahkan dalam masa reses. Menurut pemohon, hal itu melanggar Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU P3.
Selain itu, pemohon menilai ketakutan terhadap krisis ekonomi global yang dikhawatirkan akan berdampak ke perekonomian Indonesia sebagai alasan kedaruratan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja sangat tidak beralasan. Pemohon menilai tidak ada kekosongan hukum yang harus dijawab karena undang-undang yang ada masih mampu menjawab permasalahan hukum yang timbul di masyarakat.
Selankitnya pemohon juga mengatakan regulasi tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK (contempt of constitutional court) adalah preseden buruk yang dilakukan oleh Presiden dan memberikan contoh bahwa putusan MK dapat tidak dihormati.
Menurut pemohon, tidak melaksanakan putusan MK berarti melanggar konstitusi adalah constitutional organ yang eksistensi dan fungsinya diatur dalam UUD 1945. Pelanggaran konstitusi adalah salah satu definisi pengkhianatan terhadap negara yang membuka pintu bagi proses pemakzulan presiden (impeachment).(*)